Tuesday, October 25, 2011

Imam Al-Qusyairi


Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al Qusyairi. Nasabnya, Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad. Panggilannya Abul Qasim, sedangkan gelarnya cukup banyak, antara lain yang bisa kita sebutkan:
An-Naisaburi
Dihubungkan dengan Naisabur atau Syabur, sebuah kota di Khurasan, salah satu ibu kota terbesar Negara Islam pada abad pertengahan disamping Balkh, Harrat dan Marw. Kota di mana Umar Khayyam dan penyair sufi Fariduddin ‘Atthaar lahir. Dan kota ini pernah mengalami kehancuran akibat perang dan bencana. Sementara di kota inilah hidup Maha Guru asy Syeikh al Qusyairi hingga akhir hayatnya.
Al-Qusyairi.
Dalam kitab al Ansaab’ disebutkan, al Qusyairy sebenarnya dihubungkan kepada Qusyair. Sementara dalam Taajul Arus disebutkan, bahwa Qusyair adalah marga dari suku Qahthaniyah yang menempati wilayah Hadhramaut. Sedangkan dalam Mu’jamu Qabailil ‘Arab disebutkan, Qusyair adalah Ibnu Ka’b bin Rabi’ah bin Amir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyah bin Bakr bin Hawazin bin Manshur bin Ikrimah bin Qais bin Ailan. Mereka mempunyai beberapa cucu cicit. Keluarga besar Qusyairy ini bersemangat memasuki Islam, lantas mereka datang berbondong bondong ke Khurasan di zaman Umayah. Mereka pun ikut berperang ketika membuka wilayah Syam dan Irak. Di antara mata rantai keluarganya adalah para pemimpin di Khurasan dan Naisabur, namun ada juga yang memasuki wilayah Andalusia pada saat penyerangan di sana.
  1. Al-IstiwaiyMereka yang datang ke Khurasan dari Astawa berasal dari Arab. Sebuah negeri besar di wilayah Naisabur, memiliki desa yang begitu banyak. Batas batasnya berhimpitan dengan batas wilayah Nasa. Dan dari kota itu pula para Ulama pernah lahir.
  2. Asy-Syafi’y
    Dihubungkan pada mazhab asy Syafi’y yang dilandaskan oleh Muhammad bin Idris bin Syafi’y (150 204 H./767 820 M.).
  3. Gelar KehormatanIa memiliki gelar gelar kehormatan, seperti: Al Imam, al Ustadz, asy Syeikh (Maha Guru), Zainul Islam, al jaa’mi bainas Syariah wal haqiqat (Pengintegrasi antara Syariat dan Hakikat), dan seterusnya.
    Nama nama (gelar) ini diucapkan sebagai penghormatan atas kedudukannya yang tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan di dunia islam dan dunia tasawuf
Nasab Ibundanya:
Beliau mempunyai hubungan dari arah ibundanya pada as Sulamy. Sedangkan pamannya, Abu Uqail as Sulamy, salah seorang pemuka wilayah Astawa. Sementara nasab pada as Sulamy, terdapat beberapa pandangan. Pertama, as Sulamy adalah nasab pada Sulaim, yaitu kabilah Arab yang sangat terkenal. Nasabnya, Sulaim bin Manshur bin Ikrimah bin Khafdhah bin Qais bin Ailan bin Nashr. Kedua, as Salamy yang dihubungan pada Bani Salamah. Mereka adalah salah satu keluarga Anshar. Nisbat ini berbeda dengan kriterianya.
Kelahiran dan Wafatnya
Ketika ditanya tentang kelahirannya, al Qusyairy mengatakan, bahwa ia lahir di Astawa pada bulan Rablul Awal tahun 376 H. atau tahun 986 M. Syuja’ al Hadzaly menandaskan, beliau wafat di Naisabur, pada pagi hari Ahad, tanggal 16 Rablul Akhir 465 H./l 073 M. Ketika itu usianya 87 tahun.
Ia dimakamkan di samping makam gurunya, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra, dan tak seorang pun berani memasuki kamar pustaka pribadinya dalam waktu beberapa tahun, sebagai penghormatan atas dirinya.
Kehidupan Al-Qusyairi
Tidak banyak diketahui mengenai masa kecil al-Qusyairy, kecuali hanya sedikit sahaja.. Namun, yang jelas, beliau lahir sebagai yatim. Ayahnya telah wafat ketika usianya masih kecil. Kemudian pendidikannya diserahkan padaAbul Qasim al Yamany, salah seorang sahabat dekat keluarga al Qusyairy. Pada al Yamany, ia belajar bahasa Arab dan Sastra.
Para penguasa negerinya sangat menekan beban pajak pada rakyatnya. Al Qusyairy sangat terpanggil atas penderitaan rakyatnya ketika itu. Karenanya, dirinya tertantang untuk pergi ke Naisabur, mempelajari ilmu hitung, agar bisa menjadi pegawai penarik pajak, sehingga kelak bisa meringankan beban pajak yang amat memberatkan rakyat.
Naisabur ketika itu merupakan ibu kota Khurasan. Seperti sebelumnya, kota ini merupakan pusat para Ulama dan memberikan peluang besar berbagai disiplin ilmu. Syeikh al Qusyairy sampal di Naisabur, dan di sanalah beliau mengenal Syeikh Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury, yang populer dengan panggilan ad-Daqqaq, seorang pemuka pada zamannya. Ketika mendengar ucapan ucapan ad-Daqqaq, al-Qusyairy sangat mengaguminya. Ad-Daqqaq sendiri telah berfirasat mengenai kecerdasan muridnya itu. Karena itu ad-Daqqaq mendorongnya untuk menekuni ilmu pengetahuan.
Akhirnya, al Qusyairy merevisi keinginan semula, dan cita cita sebagai pegawai pemerintahan hilang dari benaknya, memilih jalan Tharikat.
Ustadz asy Syeikh mengungkapkan panggilannya pada Abu Ali ad-Daqqaq dengan panggilan asy-Syahid.
Kepandaian Berkuda
Al Qusyairy dikenal sebagai penunggang kuda yang hebat, dan ia memiliki keterampilan permainan pedang serta senjata sangat mengagumkan.
Perkahwinan
Syeikh al-Qusyairy mengawini Fatimah putri gurunya, Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury (ad Daqqaq). Fatimah adalah seorang wanita yang memiliki prestasi di bidang pengetahuan sastra, dan tergolong wanita ahli ibadat di masanya, serta meriwayatkan beberapa hadis. Perkawinannya berlangsung antara tahun 405 412 H./1014-1021 M.
Putera Puterinya
Al Qusyairy berputra enam orang dan seorang putri. Putra-putranya menggunakan nama Abdu. Secara berurutan: 1) Abu Sa’id Abdullah, 2) Abu Sa’id Abdul Wahid, 3) Abu Manshur Abdurrahman, 4) Abu an Nashr Abdurrahim, yang pernah berpolemik dengan pengikut teologi Hanbaly karena berpegang pada mazhab Asy’ari. Abu an Nashr wafat tahun 514 H/1120 M. di Naisabur, 5) Abul Fath Ubaidillah, dan 6) Abul Mudzaffar Abdul Mun’im. Sedangkan seorang putrinya, bernama Amatul Karim.
Di antara salah satu cucunya adalah Abul As’ad Hibbatur-Rahman bin Abu Sa’id bin Abul Qasim al Qusyairy.
Menunaikan Haji
Maha Guru imam ini menunaikan kewajiban haji bersamaan dengan para Ulama terkenal, antara lain: 1) Syeikh Abu Muhammad Abdullah binYusuf al-Juwainy (wafat 438 H./1047 M.), salah seorang Ulama tafsir, bahasa dan fiqih, 2) Syeikh Abu Bakr Ahmad ibnul Husain al-Balhaqy (384 458 H./994 1066 M.), seorang Ulama pengarang besar, dan 3) Sejumlah besar Ulama ulama masyhur yang sangat dihormati ketika itu.
Belajar dan Mengajar
Para guru yang menjadi pembimbing Syeikh al Qusyairy tercatat:
  1. Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury, yang populer dengan nama ad-Daqqaq.
  2. Abu Abdurrahman – Muhammad ibnul Husain bin Muhammad al-Azdy as Sulamy an Naisabury (325 412 H./936 1021 M.), seorang Ulama Sufi besar, pengarang sekaligus sejarawan.
  3. Abu Bakr – Muhammad bin Abu Bakr ath-Thausy (385 460 H./995 1067 M.). Maha Guru al Qusyairy belajar bidang fiqih kepadanya. Studi itu berlangsung tahun 408 H./1017 M.
  4. Abu Bakr – Muhammad ibnul Husain bin Furak al Anshary al-Ashbahany (wafat 406 H./1015 M.), seorang Ulama ahli Ilmu Ushul. Kepadanya, beliau belajar ilmu Kalam.
  5. Abu Ishaq – Ibrahim bin Muhammad bin Mahran al Asfarayainy (wafat 418 H./1027 M.), Ulama fiqih dan ushul. Hadir di Asfarayain. Di sana (Naisabur) beliau dibangunkan sebuah madrasah yang cukup besar, dan al-Qusyairy belajar di sana. Di antara karya Abu Ishaq adalah al-jaami’ dan ar-Risalah. Ia pernah berpolemik dengan kaum Mu’tazilah. Pada syeikh inilah al-Qusyairy belajar Ushuluddin.
  6. Abul Abbas bin Syuraih. Kepadanya al-Qusyairy belajar bidang fiqih.
  7. Abu Manshur – Abdul Qahir bin Muhammad al Baghdady at-Tamimy al-Asfarayainy (wafat 429 H./1037 M.), lahir dan besar di Baghdad, kemudian menetap di Naisabur, lalu wafat di Asfarayain.
Di antara karya karyanya, Ushuluddin; Tafsiru Asmaail Husna; dan Fadhaihul Qadariyah. Kepadanya al Qusyairy belaj’ar mazhab Syafi’y.
Disiplin Ilmu Keagamaan
  • Ushuluddin: Al Qusyairy belaj’ar bidang Ushuluddin menurut mazhab Imam Abul Hasan al Asy’ary.
  • Fiqih: Al Qusyairy dikenal pula sebagai ahli fiqih mazhab Syafi’y.
  • Tasawuf: Beliau seorang Sufi yang benar benar jujur dalam ketasawufannya, ikhlas dalam mempertahankan tasawuf Komitmennya terhadap tasawuf begitu dalam. Beliau menulis buku Risalatul Qusyairiyah, sebagaimana komitmennya terhadap kebenaran teologi Asy’ary yang dipahami sebagai konteks spirit hakikat Islam. Dalam pleldoinya terhadap teologi Asy’ary, beliau menulis buku: Syakayatu Ahlis Sunnah bi Hikayati maa Naalahum minal Mihnah.
Karena itu al Qusyairy juga dikenal sebagai teolog, seorang hafidz dan ahli hadis, ahli bahasa dan sastra, seorang pengarang dan penyair, ahli dalam bidang kaligrafi, penunggang kuda yang berani. Namun dunia tasawuf lebih dominan dan lebih populer bagi kebesarannya.
Forum Imla’
Maha Guru al Qusyairy dikenal sebagai imam di zamannya. Di Baghdad misalnya, beliau mempunyai forum imla’ hadis, pada tahun 32 H./1040 M. Hal itu terlihat dalam bait bait syairnya. Kemudian forum tersebut berhenti. Namun dimulai lagi ketika kembali ke Naisabur tahun 455 H./1063 M.
Forum Muzakarah
Maha Guru al Qusyairy juga sebagai pemuka forum-forum muzakarah. Ucapan-ucapannya sangat membekas dalam jiwa ummat manusia. Abul Hasan Ali bin Hasan al-Bakhrazy menyebutkan pada tahun 462 H./1070 M dengan memujinya bahwa al-Qusyairy sangat indah nasihat-nasihatnya. “Seandainya batu itu dibelah dengan cambuk peringatannya, pasti batu itu meleleh. seandainya iblis bergabung dalam majelis pengajiannya, bisa bisa iblis bertobat. Seandainya harus dipilah mengenai keutamaan ucapannya, pasti terpuaskan.
Hal yang senada disebutkan oleh al-Khatib dalam buku sejarahnya, Ketika Maha Guru ini datang ke Baghdad, kemudian berbicara di sana, kami menulis semua ucapannya. Beliau seorang yang terpercaya, sangat hebat nasihatnya dan sangat manis isyaratnya.”
Ibnu Khalikan dalam Waftyatul Ayan, menyebutkan nada yang memujinya, begitu pula dalam Thabaqatus Syafi’iyah, karya Tajudddin as-Subky.
Murid-muridnya yang Terkenal
  • Abu Bakr – Ahmad bin Ali bin Tsabit al-Khatib al-Baghdady (392463 H./1002 1072 M.).
  • Abu Ibrahim – Ismail bin Husain al-Husainy (wafat 531 H./l 137 M.)
  • Abu Muhammad – Ismail bin Abul Qasim al-Ghazy an-Naisabury.
  • Abul Qasim – Sulaiman bin Nashir bin Imran al-Anshary (wafat 512 H/118 M.)
  • Abu Bakr – Syah bin Ahmad asy-Syadiyakhy.
  • Abu Muhammad – Abdul Jabbar bin Muhammad bin Ahmad al-Khawary.
  • Abu Bakr bin Abdurrahman bin Abdullah al-Bahity.
  • Abu Muhammad – Abdullah bin Atha’al-Ibrahimy al-Harawy.
  • Abu Abdullah – Muhammad ibnul Fadhl bin Ahmad al-Farawy (441530 H./1050 1136 M.)
  • Abdul Wahab ibnus Syah Abul Futuh asy-Syadiyakhy an-Naisabury.
  • Abu Ali – al-Fadhl bin Muhammad bin Ali al-Qashbany (444 H/ 1052 M).
  • Abul Tath – Muhammad bin Muhammad bin Ali al-Khuzaimy.
Cubaan yang Mendatang
Ketika popularitinya di Naisabur semakin meluas, Maha Guru telah mendapatkan cobaan melalui taburan kedengkian dan dendam dari jiwa para fuqaha di kota tersebut. Para fuqaha tersebut menganjurkan agar menghalangi langkah langkah popularitasnya dengan menyebar propaganda. Fitnah itu dilemparkan dengan membuat tuduhan tuduhan dusta dan kebohongan kepada orang orang di sekitar Syeikh. Dan fitnah itu benar benar berhasil dalam merekayasa mereka. Ketika itulah al Qusyairy ditimpa bencana yang begitu dahsyat, dengan berbagai ragam siksaan, cacian dan pengusiran, sebagaimana diceritakan oleh as-Subky.
Mereka yang mengecam. Al-Qusyairy rata-rata kaum Mu’tazilah dan neo-Hanbalian, yang memiliki pengaruh dalam pemerintahan Saljuk. Mereka menuntut agar sang raja menangkap al-Qusyairy, dicekal dari aktivitas dakwah dan dilaknati di berbagai masjid-masjid di negeri itu.
Akhirnya para murid muridnya bercerai-berai, orang-orang pun mulai menyingkir darinya. Sedangkan majelis-majelis dzikir yang didirikan oleh Maha Guru ini dikosongkan. Akhirnya, bencana itu sampai pada puncaknya, Maha Guru harus keluar dari Naisabur dalam keadaan terusir, hingga cobaan ini berlangsung selama limabelas tahun, yakni tahun 440 H. sampai tahun 455 H. Di selasela masa yang getir itu, beliau pergi ke Baghdad, dimana beliau dimuliakan oleh Khallfah yang berkuasa. Pada waktu waktu luangnya, beliau pergi ke Thous.
Ketika peristiwa Thurghulbeg yang tragis berakhir dan tampuk Khalifah diambil alih oleh Abu Syuja’, al-Qusyairy kembali bersama rombongan berhijrah dari Khurasan ke Naisabur, hingga sepuluh tahun di kota itu. Sebuah masa yang sangat membahagiakan dirinya, karena pengikut dan murid-muridnya bertambah banyak.

Kisah Nabi Khidir as.


Salah satu kisah Al-Qur’an yang sangat mengagumkan dan dipenuhi dengan misteri adalah, kisah seseorang hamba yang Allah SWT memberinya rahmat dari sisi-Nya dan mengajarinya ilmu. Kisah tersebut terdapat dalam surah al-Kahfi di mana ayat-ayatnya dimulai dengan cerita Nabi Musa, yaitu:

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: ‘Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan-jalan sampai bertahun-tahun.” (QS. al-Kahfi: 60)
Kalimat yang samar menunjukkan bahwa Musa telah bertekad untuk meneruskan perjalanan selama waktu yang cukup lama kecuali jika beliau mampu mencapai majma’ al-Bahrain (pertemuan dua buah lautan). Di sana terdapat suatu perjanjian penting yang dinanti-nanti oleh Musa ketika beliau sampai di majma‘ al-Bahrain. Anda dapat merenungkan betapa tempat itu sangat misterius dan samar. Para musafir telah merasakan keletihan dalam waktu yang lama untuk mengetahui hakikat tempat ini. Ada yang mengatakan bahwa tempat itu adalah laut Persia dan Romawi. Ada yang mengatakan lagi bahwa itu adalah laut Jordania atau Kulzum. Ada yang mengatakan juga bahwa itu berada di Thanjah. Ada yang berpendapat, itu terletak di Afrika. Ada lagi yang mengatakan bahwa itu adalah laut Andalus. Tetapi mereka tidak dapat menunjukkan bukti yang kuat dari tempat-tempat itu.
Seandainya tempat itu harus disebutkan niscaya Allah SWT akan rnenyebutkannya. Namun Al-Qur’an al-Karim sengaja menyembunyikan tempat itu, sebagaimana Al-Qur’an tidak menyebutkan kapan itu terjadi. Begitu juga, Al-Qur’an tidak menyebutkan nama-nama orang-orang yang terdapat dalam kisah itu karena adanya hikmah yang tinggi yang kita tidak mengetahuinya. Kisah tersebut berhubungan dengan suatu ilmu yang tidak kita miliki, karena biasanya ilmu yang kita kuasai berkaitan dengan sebab-sebab tertentu. Dan tidak juga ia berkaitan dengan ilmu para nabi karena biasanya ilmu para nabi berdasarkan wahyu. Kita sekarang berhadapan dengan suatu ilmu dari suatu hakikat yang samar; ilmu yang berkaitan dengan takdir yang sangat tinggi; ilmu yang dipenuhi dengan rangkaian tabir yang tebal.
Di samping itu, tempat pertemuan dan waktunya antara hamba yang mulia ini dan Musa juga tidak kita ketahui. Demikianlah kisah itu terjadi tanpa memberitahumu kapan terjadi dan di tempat mana. Al-Qur’an sengaja menyembunyikan hal itu, bahkan Al-Qur’an sengaja menyembunyikan pahlawan dari kisah ini. Allah SWT mengisyaratkan hal tersebut dalam firman-Nya:
“Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS. al-Kahfi: 65)
Al-Qur’an al-Karim tidak menyebutkan siapa nama hamba yang dimaksud, yaitu seorang hamba yang dicari oleh Musa agar ia dapat belajar darinya. Nabi Musa adalah seseorang yang diajak bebicara langsung oleh Allah SWT dan ia salah seorang ulul azmi dari para rasul. Beliau adalah pemilik mukjizat tongkat dan tangan yang bercahaya dan seorang Nabi yang Taurat diturunkan kepadanya tanpa melalui perantara. Namun dalam kisah ini, beliau menjadi seorang pencari ilmu yang sederhana yang harus belajar kepada gurunya dan menahan penderitaan di tengah-tengah belajarnya itu. Lalu, siapakah gurunya atau pengajarnya? Pengajarnya adalah seorang hamba yang tidak disebutkan namanya dalam Al-Qur’an meskipun dalam hadis yang suci disebutkan bahwa ia adalah Khidir as.
Musa berjalan bersama hamba yang menerima ilmunya dari Allah SWT tanpa sebab-sebab penerimaan ilmu yang biasa kita ketahui. Mula-mula Khidir menolak ditemani oleh Musa. Khidir memberitahu Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya. Akhirnya, Khidir mau ditemani oleh Musa tapi dengan syarat, hendaklah ia tidak bertanya tentang apa yang dilakukan Khidir sehingga Khidir menceritakan kepadanya. Khidir merupakan simbol ketenangan dan diam; ia tidak berbicara dan gerak-geriknya menimbulkan kegelisahan dan kebingungan dalam diri Musa. Sebagian tindakan yang dilakukan oleh Khidir jelas-jelas dianggap sebagai kejahatan di mata Musa; sebagian tindakan Khidir yang lain dianggap Musa sebagai hal yang tidak memiliki arti apa pun; dan tindakan yang lain justru membuat Musa bingung dan membuatnya menentang. Meskipun Musa memiliki ilmu yang tinggi dan kedudukan yang luar biasa namun beliau mendapati dirinya dalam keadaan kebingungan melihat perilaku hamba yang mendapatkan karunia ilmunya dari sisi Allah SWT.
Ilmu Musa yang berlandaskan syariat menjadi bingung ketika menghadapi ilmu hamba ini yang berlandaskan hakikat. Syariat merupakan bagian dari hakikat. Terkadang hakikat menjadi hal yang sangat samar sehingga para nabi pun sulit memahaminya. Awan tebal yang menyelimuti kisah ini dalam Al-Qur’an telah menurunkan hujan lebat yang darinya mazhab-mazhab sufi di dalam Islam menjadi segar dan tumbuh. Bahkan terdapat keyakinan yang menyatakan adanya hamba-hamba Allah SWT yang bukan termasuk nabi dan syuhada namun para nabi dan para syuhada “cemburu” dengan ilmu mereka. Keyakinan demikian ini timbul karena pengaruh kisah ini.
Para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan Khidir. Sebagian mereka mengatakan bahwa ia seorang wali dari wali-wali Allah SWT. Sebagian lagi mengatakan bahwa ia seorang nabi. Terdapat banyak cerita bohong tentang kehidupan Khidir dan bagaimana keadaannya. Ada yang mengatakan bahwa ia akan hidup sampai hari kiamat. Yang jelas, kisah Khidir tidak dapat dijabarkan melalui nas-nas atau hadis-hadis yang dapat dipegang (otentik). Tetapi kami sendiri berpendapat bahwa beliau meninggal sebagaimana meninggalnya hamba-hamba Allah SWT yang lain. Sekarang, kita tinggal membahas kewaliannya dan kenabiannya. Tentu termasuk problem yang sangat rumit atau membingungkan. Kami akan menyampaikan kisahnya dari awal sebagaimana yang dikemukakan dalam Al-Qur’an.
Nabi Musa as berbicara di tengah-tengah Bani Israil. Ia mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT dan menceritakan kepada mereka tentang kebenaran. Pembicaraan Nabi Musa sangat komprehensif dan tepat. Setelah beliau menyampaikan pembicaraannya, salah seorang Bani Israil bertanya: “Apakah ada di muka bumi seseorang yang lebih alim darimu wahai Nabi Allah?” Dengan nada emosi, Musa menjawab: “Tidak ada.”
Allah SWT tidak setuju dengan jawaban Musa. Lalu Allah SWT mengutus Jibril untuk bertanya kepadanya: “Wahai Musa, tidakkah engkau mengetahui di mana Allah SWT meletakkan ilmu-Nya?” Musa mengetahui bahwa ia terburu-buru mengambil suatu keputusan. Jibril kembali berkata kepadanya: “Sesungguhnya Allah SWT mempunyai seorang hamba yang berada di majma’ al-Bahrain yang ia lebih alim daripada kamu.” Jiwa Nabi Musa yang mulia rindu untuk menambah ilmu, lalu timbullah keinginan dalam dirinya untuk pergi dan menemui hamba yang alim ini. Musa bertanya bagaimana ia dapat menemui orang alim itu. Kemudian ia mendapatkan perintah untuk pergi dan membawa ikan di keranjang. Ketika ikan itu hidup dan melompat ke lautan maka di tempat itulah Musa akan menemui hamba yang alim.
Akhirnya, Musa pergi guna mencari ilmu dan beliau ditemani oleh seorang pembantunya yang masih muda. Pemuda itu membawa ikan di keranjang. Kemudian mereka berdua pergi untuk mencari hamba yang alim dan saleh. Tempat yang mereka cari adalah tempat yang sangat samar dan masalah ini berkaitan dengan hidupnya ikan di keranjang dan kemudian ikan itu akan melompat ke laut. Namun Musa berkeinginan kuat untuk menemukan hamba yang alim ini walaupun beliau harus berjalan sangat jauh dan menempuh waktu yang lama.
Musa berkata kepada pembantunya: “Aku tidak memberimu tugas apa pun kecuali engkau memberitahuku di mana ikan itu akan berpisah denganmu.” Pemuda atau pembantunya berkata: “Sungguh engkau hanya memberi aku tugas yang tidak terlalu berat.” Kedua orang itu sampai di suatu batu di sisi laut. Musa tidak kuat lagi menahan rasa kantuk sedangkan pembantunya masih bergadang. Angin bergerak ke tepi lautan sehingga ikan itu bergerak dan hidup lalu melompat ke laut. Melompatnya ikan itu ke laut sebagai tanda yang diberitahukan Allah SWT kepada Musa tentang tempat pertamuannya dengan seseorang yang bijaksana yang mana Musa datang untuk belajar kepadanya. Musa bangkit dari tidurnya dan tidak mengetahui bahwa ikan yang dibawanya telah melompat ke laut sedangkan pembantunya lupa untuk menceritakan peristiwa yang terjadi. Lalu Musa bersama pemuda itu melanjutkan perjalanan dan mereka lupa terhadap ikan yang dibawanya. Kemudian Musa ingat pada makanannya dan ia telah merasakan keletihan. Ia berkata kepada pembantunya: “Coba bawalah kepada kami makanan siang kami, sungguh kami telah merasakan keletihan akibat dari perjalanan ini.”
Pembantunya mulai ingat tentang apa yang terjadi. Ia pun mengingat bagaimana ikan itu melompat ke lautan. Ia segera menceritakan hal itu kepada Nabi Musa. Ia meminta maaf kepada Nabi Musa karena lupa menceritakan hal itu. Setan telah melupakannya. Keanehan apa pun yang menyertai peristiwa itu, yang jelas ikan itu memang benar-benar berjalan dan bergerak di lautan dengan suatu cara yang mengagumkan. Nabi Musa merasa gembira melihat ikan itu hidup kembali di lautan dan ia berkata: “Demikianlah yang kita inginkan.” Melompatnya ikan itu ke lautan adalah sebagai tanda bahwa di tempat itulah mereka akan bertemu dengan seseorang lelaki yang alim. Nabi Musa dan pembantunya kembali dan menelusuri tempat yang dilaluinya sampai ke tempat yang di situ ikan yang dibawanya bergerak dan menuju ke lautan.
Perhatikanlah permulaan kisah: bagaimana Anda berhadapan dengan suatu kesamaran dan tabir yang tebal di mana ketika Anda menjumpai suatu tabir di depan Anda terpampang maka sebelum tabir itu tersingkap Anda harus berhadapan dengan tabir-tabir yang lain. Akhirnya, Musa sampai di tempat di mana ikan itu melompat. Mereka berdua sampai di batu di mana keduanya tidur di dekat situ, lalu ikan yang mereka bawa keluar menuju laut. Di sanalah mereka mendapatkan seorang lelaki. Kami tidak mengetahui namanya, dan bagaimana bentuknya, dan bagaimana bajunya; kami pun tidak mengetahui usianya. Yang kita ketahui hanyalah gambaran dalam yang dijelaskan oleh Al-Qur’an: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahrnat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. 
Inilah aspek yang penting dalam kisah itu. Kisah itu terfokus pada sesuatu yang ada di dalam jiwa, bukan tertuju pada hal-hal yang bersifat fisik atau lahiriah. Allah SWT berfirman:
“Maka tatkala mereka berjalan sampai ke pertemuan dua buah laut itu, maka mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: ‘Bawalah ke rnari makanan kita; sesungguhnya kita merasa letih karena perjalanan hita ini.’ Muridnya menjawab: ‘Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.’ Musa berkata: ‘Itulah (tempat) yang kita cari; lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. ”(QS. al-Kahfi: 61-65)
Bukhari mengatakan bahwa Musa dan pembantunya menemukan Khidir di atas sajadah hijau di tengah-tengah lautan. Ketika Musa melihatnya, ia menyampaikan salam kepadanya. Khidir berkata: “Apakah di bumimu ada salam? Siapa kamu?” Musa menjawab: “Aku adalah Musa.” Khidir berkata: “Bukankah engkau Musa dari Bani Israil. Bagimu salam wahai Nabi dari Bani Israil.” Musa berkata: “Dari mana kamu mengenal saya?” Khidir menjawab: “Sesungguhnya yang mengenalkan kamu kepadaku adalah juga yang memberitahu aku siapa kamu. Lalu, apa yang engkau inginkan wahai Musa?” Musa berkata dengan penuh kelembutan dan kesopanan: “Apakah aku dapat mengikutimu agar engkau dapat mengajariku sesuatu yang engkau telah memperoleh karunia dari-Nya.” Khidir berkata: “Tidakkah cukup di tanganmu Taurat dan bukankah engkau telah mendapatkan wahyu. Sungguh wahai Musa, jika engkau ingin mengikutiku engkau tidak akan mampu bersabar bersamaku.”
Kita ingin memperhatikan sejenak perbedaan antara pertanyaan Musa yang penuh dengan kesopanan dan kelembutan dan jawaban Khidir yang tegas di mana ia memberitahu Musa bahwa ilmunya tidak harus diketahui oleh Musa, sebagaimana ilmu Musa tidak diketahui oleh Khidir. Para ahli tafsir mengemukakan bahwa Khidir berkata kepada Musa: “Ilmuku tidak akan engkau ketahui dan engkau tidak akan mampu sabar untuk menanggung derita dalam memperoleh ilmu itu. Aspek-aspek lahiriah yang engkau kuasai tidak dapat menjadi landasan dan ukuran untuk menilai ilmuku. Barangklali engkau akan melihat dalam tindakan-tindakanku yang tidak engkau pahami sebab-sebabnya. Oleh karena itu, wahai Musa, engkau tidak akan mampu bersabar ketika ingin mendapatkan ilmuku.” Musa mendapatkan suatu pernyataan yang tegas dari Khidir namun beliau kembali mengharapnya untuk mengizinkannya menyertainya untuk belajar darinya. Musa berkata kepadanya bahwa insya Allah ia akan mendapatinya sebagai orang yang sabar dan tidak akan menentang sedikit pun.
Perhatikanlah bagaimana Musa, seorang Nabi yang berdialog dengan Allah SWT, merendah di hadapan hamba ini dan ia menegaskan bahwa ia tidak akan menentang perintahnya. Hamba Allah SWT yang namanya tidak disebutkan dalam Al-Qur’an menyatakan bahwa di sana terdapat syarat yang harus dipenuhi Musa jika ia bersikeras ingin menyertainya dan belajar darinya. Musa bertanya tentang syarat ini, lalu hamba yang saleh ini menentukan agar Musa tidak bertanya sesuatu pun sehingga pada saatnya nanti ia akan mengetahuinya atau hamba yang saleh itu akan memberitahunya. Musa sepakat atas syarat tersebut dan kemudian mereka pun pergi. Perhatikanlah firman Allah SWT dalam surah al-Kahfi:
“Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu ?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’ Musa berkata: ‘Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.’ Dia berkata: ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.’” (QS. al-Kahfi: 66-70)
Musa pergi bersama Khidir. Mereka berjalan di tepi laut. Kemudian terdapat perahu yang berlayar lalu mereka berbicara dengan orang-orang yang ada di sana agar mau mengangkut mereka. Para pemilik perahu mengenal Khidir. Lalu mereka pun membawanya beserta Musa, tanpa meminta upah sedikit pun kepadanya. Ini sebagai bentuk penghormatan kepada Khidir. Namun Musa dibuat terkejut ketika perahu itu berlabuh dan ditinggalkan oleh para pemiliknya, Khidir melobangi perahu itu. Ia mencabut papan demi papan dari perahu itu, lalu ia melemparkannya ke laut sehingga papan-papan itu dibawa ombak ke tempat yang jauh.
Musa menyertai Khidir dan melihat tindakannya dan kemudian ia berpikir. Musa berkata kepada dirinya sendiri: “Apa yang aku lakukan di sini, mengapa aku berada di tempat ini dan menemani laki-laki ini? Mengapa aku tidak tinggal bersama Bani Israil dan membacakan Kitab Allah SWT sehingga mereka taat kepadaku? Sungguh Para pemilik perahu ini telah mengangkut kami tanpa meminta upah. Mereka pun memuliakan kami tetapi guruku justru merusak perahu itu dan melobanginya.” Tindakan Khidir di mata Musa adalah tindakan yang tercela. Kemudian bangkitlah emosi Musa sebagai bentuk kecemburuannya kepada kebenaran. Ia terdorong untuk bertanya kepada gurunya dan ia lupa tentang syarat yang telah diajukannya, agar ia tidak bertanya apa pun yang terjadi. Musa berkata: “Apakah engkau melobanginya agar para penumpangnya tenggelam? Sungguh engkau telah melakukan sesuatu yang tercela.” Mendengar pertanyaan lugas Musa, hamba Allah SWT itu menoleh kepadanya dan menunjukkan bahwa usaha Musa untuk belajar darinya menjadi sia-sia karena Musa tidak mampu lagi bersabar. Musa meminta maaf kepada Khidir karena ia lupa dan mengharap kepadanya agar tidak menghukumnya.
Kemudian mereka berdua berjalan melewati suatu kebun yang dijadikan tempat bermain oleh anak-anak kecil. Ketika anak-anak kecil itu sudah letih bermain, salah seorang mereka tampak bersandar di suatu pohon dan rasa kantuk telah menguasainya. Tiba-tiba, Musa dibuat terkejut ketika melihat hamba Allah SWT ini membunuh anak kacil itu. Musa dengan lantang bertanya kepadanya tentang kejahatan yang baru saja dilakukannya, yaitu membunuh anak laki-laki yang tidak berdosa. Hamba Allah SWT itu kembali mengingatkan Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya. Musa meminta maaf kepadanya karena lagi-lagi ia lupa. Musa berjanji tidak akan bertanya lagi. Musa berkata ini adalah kesempatan terakhirku untuk menemanimu. Mereka pun pergi dan meneruskan perjalanan. Mereka memasuki suatu desa yang sangat bakhil. Musa tidak mengetahui mengapa mereka berdua pergi ke desa itu dan mengapa tinggal dan bermalam di sana. Makanan yang mereka bawa habis, lalu mereka meminta makanan kepada penduduk desa itu, tetapi penduduk itu tidak mau memberi dan tidak mau menjamu mereka.
Kemudian datanglah waktu sore. Kedua orang itu ingin beristirahat di sebelah dinding yang hampir roboh. Musa dibuat terkejut ketika melihat hamba itu berusaha membangun dinding yang nyaris roboh itu. Bahkan ia menghabiskan waktu malam untuk memperbaiki dinding itu dan membangunnya seperti baru. Musa sangat heran melihat tindakan gurunya. Bagi Musa, desa yang bakhil itu seharusnya tidak layak untuk mendapatkan pekerjaan yang gratis ini. Musa berkata: “Seandainya engkau mau, engkau bisa mendapat upah atas pembangunan tembok itu.” Mendengar perkataan Musa itu, hamba Allah SWT itu berkata kepadanya: “Ini adalah batas perpisahan antara dirimu dan diriku.” Hamba Allah SWT itu mengingatkan Musa tentang pertanyaan yang seharusnya tidak dilontarkan dan ia mengingatkannya bahwa pertanyaan yang ketiga adalah akhir dari pertemuan.
Kemudian hamba Allah SWT itu menceritakan kepada Musa dan membongkar kesamaran dan kebingungan yang dihadapi Musa. Setiap tindakan hamba yang saleh itu—yang membuat Musa bingung—bukanlah hasil dari rekayasanya atau dari inisiatifnya sendiri, ia hanya sekadar menjadi jembatan yang digerakkan oleh kehendak Yang Maha Tingi di mana kehendak yang tinggi ini menyiratkan suatu hikmah yang tersembunyi. Tindakan-tindakan yang secara lahiriah tampak keras namun pada hakikatnya justru menyembunyikan rahmat dan kasih sayang. Demikianlah bahwa aspek lahiriah bertentangan dengan aspek batiniah. Hal inilah yang tidak diketahui oleh Musa. Meskipun Musa memiliki ilmu yang sangat luas tetapi ilmunya tidak sebanding dengan hamba ini. Ilmu Musa laksana setetes air dibandingkan dengan ilmu hamba itu, sedangkan hamba Allah SWT itu hanya memperoleh ilmu dari Allah SWT sedikit, sebesar air yang terdapat pada paruh burung yang mengambil dari lautan. Allah SWT berfirman:
“Maka berjalanlah heduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidir melobanginya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya hamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.’ Dia (Khidir) berkata: ‘Bukankah aku telah berkata: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.’ Musa berkata: ‘Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.’ Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih itu, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.’ Khidir berkata: ‘Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan sabar bersamaku?’ Musa berkata: ‘Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertairnu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku.’ Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata: ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.’ Khidir berkata: ‘Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahwa dia ahan mendorong orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereha mengganti bagi mereka dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam dari hasih sayangnya (kepada ibu dan bapaknya). Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya seseorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakuhannya itu menurut kemauanku sendvri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.’” (QS. al-Kahfi: 71-82)
Hamba saleh itu menyingkapkan dua hal pada Musa: ia memberitahunya bahwa ilmunya, yakni ilmu Musa sangat terbatas, kemudian ia memberitahunya bahwa banyak dari musibah yang terjadi di bumi justru di balik itu terdapat rahmat yang besar. Pemilik perahu itu akan menganggap bahwa usaha melobangi perahu mereka merupakan suatu bencana bagi mereka tetapi sebenarnya di balik itu terdapat kenikmatan, yaitu kenikmatan yang tidak dapat diketahui kecuali setelah terjadinya peperangan di mana raja akan memerintahkan untuk merampas perahu-perahu yang ada. Lalu raja itu akan membiarkan perahu-perahu yang rusak. Dengan demikian, sumber rezeki keluarga-keluarga mereka akan tetap terjaga dan mereka tidak akan mati kelaparan. Demikian juga orang tua anak kecil yang terbunuh itu akan menganggap bahwa terbunuhnya anak kecil itu sebagai musibah, namun kematiannya justru membawa rahmat yang besar bagi mereka karena Allah SWT akan memberi mereka—sebagai ganti darinya—anak yang baik yang dapat menjaga mereka dan melindungi mereka pada saat mereka menginjak masa tua dan mereka tidak akan menampakkan kelaliman dan kekufuran seperti anak yang terbunuh. Demikianlah bahwa nikmat terkadang membawa sesuatu bencana dan sebaliknya, suatu bencana terkadang membawa nikmat. Banyak hal yang lahirnya baik temyata justru di balik itu terdapat keburukan.
Mula-mula Nabi Allah SWT Musa menentang dan mempersoalkan tindakan hamba Allah SWT tersebut, kemudian ia menjadi mengerti ketika hamba Allah SWT itu menyingkapkan kepadanya maksud dari tindakannya dan rahmat Allah SWT yang besar yang tersembunyi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Selanjutnya, Musa kembali menemui pembatunya dan menemaninya untuk kembali ke Bani Israil. Sekarang, Musa mendapatkan keyakinan yang luar biasa. Musa telah belajar dari mereka dua hal: yaitu ia tidak merasa bangga dengan ilmunya dalam syariat karena di sana terdapat ilmu hakikat, dan ia tidak mempersoalkan musibah-musibah yang dialami oleh manusia karena di balik itu terdapat rahmat Allah SWT yang tersembunyi yang berupa kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya. Itulah pelajaran yang diperoleh Nabi Musa as dari hamba ini. Nabi Musa mengetahui bahwa ia berhadapan dengan lautan ilmu yang baru di mana ia bukanlah lautan syariat yang diminum oleh para nabi. Kita berhadapan dengan lautan hakikat, di hadapan ilmu takdir yang tertinggi; ilmu yang tidak dapat kita jangkau dengan akal kita sebagai manusia biasa atau dapat kita cerna dengan logika biasa. Ini bukanlah ilmu eksperimental yang kita ketahui atau yang biasa terjadi di atas bumi, dan ia pun bukan ilmu para nabi yang Allah SWT wahyukan kepada mereka.
Kita sekarang sedang membahas ilmu yang baru. Lalu siapakah pemilik ilmu ini? Apakah ia seorang wali atau seorang nabi? Mayoritas kaum sufi berpendapat bahwa hamba Allah SWT ini dari wali-wali Allah SWT. Allah SWT telah memberinya sebagian ilmu laduni kepadanya tanpa sebab-sebab tertentu. Sebagian ulama berpendapat bahwa hamba saleh ini adalah seorang nabi. Untuk mendukung pernyataannya ulama-ulama tersebut menyampaikan beberapa argumentasi melalui ayat Al-Qur’an yang menunjukkan kenabiannya.
Pertama, firman-Nya:
“Lalu mereka bertemu dengan searang hamba di antara hamba-ham-ba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”
Kedua, perkataan Musa kepadanya:
“Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu ?’ Musa berkata: ‘lnsya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orangyang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.’ Dia berkata: ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu rmnanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu,’” (QS. al-Kahfi: 66-70)
Seandainya ia seorang wali dan bukan seorang nabi maka Musa tidak akan berdiaog atau berbicara dengannya dengan cara yang demikian dan ia tidak akan menjawab kepada Musa dengan jawaban yang demikian. Bila ia bukan seorang nabi maka berarti ia tidak maksum sehingga Musa tidak harus memperoleh ilmu dari seseorang wali yang tidak maksum.
Ketiga, Khidir menunjukkan keberaniannya untuk membunuh anak kecil itu melalui wahyu dari Allah SWT dan perintah dari-Nya. Ini adalah dalil tersendiri yang menunjukkan kenabiannya dan bukti kuat yang menunjukkan kemaksumannya. Sebab, seorang wali tidak boleh membunuh jiwa yang tidak berdosa dengan hanya berdasarkan kepada keyakinannya dan hatinya. Boleh jadi apa yang terlintas dalam hatinya tidak selalu maksum karena terkadang ia membuat kesalahan. Jadi, keberanian Khidir untuk membunuh anak kacil itu sebagai bukti kenabiannya.
Keempat, perkataan Khidir kepada Musa:
“Sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. ” (QS. al-Kahfi: 82)
Yakni, apa yang aku lakukan bukan dari doronganku sendiri namun ia merupakan perintah dari Allah SWT dan wahyu dari-Nya. Demikianlah pendapat para ulama dan para ahli zuhud. Para ulama berpendapat bahwa Khidir adalah seorang Nabi sedangkan para ahli zuhud dan para tokoh sufi berpendapat bahwa Khidir adalah seorang wali dari wali-wali Allah SWT.
Salah satu pernyataan Kliidir yang sering dikemukakan oleh tokoh sufi adalah perkataan Wahab bin Munabeh, Khidir berkata: “Wahai Musa, manusia akan disiksa di dunia sesuai dengan kadar kecintaan mereka atau kecenderungan mereka terhadapnya (dunia).” Sedangkan Bisyir bin Harits al-Hafi berkata: “Musa berkata kepada Khidir: “Berilah aku nasihat.” Khidir menjawab: “Mudah-mudahan Allah SWT memudahkan kamu untuk taat kepada-Nya.” Para ulama dan para ahli zuhud berselisih pendapat tentang Khidir dan setiap mereka mengklaim kebenaran pendapatnya. Perbedaan pendapat ini berujung pangkal kepada anggapan para ulama bahwa mereka adalah sebagai pewaris para nabi, sedangkan kaum sufi menganggap diri mereka sebagai ahli hakikat yang mana salah satu tokoh terkemuka dari ahli hakikat itu adalah Khidir. Kami sendiri cenderung untuk menganggap Khidir sebagai seorang nabi karena beliau menerima ilmu laduni. Yang jelas, kita tidak mendapati nas yang jelas dalam konteks Al-Qur’an yang menunjukkan kenabiannya dan kita juga tidak menemukan nas yang gamblang yang dapat kita jadikan sandaran untuk menganggapnya sebagai seorang wali yang diberi oleh Allah SWT sebagian ilmu laduni.
Barangkali kesamaran seputar pribadi yang mulia ini memang disengaja agar orang yang mengikuti kisah tersebut mendapatkan tujuan utama dari inti cerita. Hendaklah kita berada di batas yang benar dan tidak terlalu jauh mempersoalkan kenabiannya atau kewaliannya. Yang jelas, ketika kami memasukkannya dalam jajaran para nabi karena ia adalah seorang guru dari Musa dan seorang ustadz baginya untuk beberapa waktu.♦

Al-Mahdi as. akan muncul di bulan Muharram


Al-Mahdi akan muncul di bulan Muharram. Pada Ramadhan sebelum kemunculannya, terlihat beberapa tanda-tanda nyata dan peristiwa- peristiwa yang aneh di langit. Mula-mula terjadi guncangan, kemudian muncul gelegar suara yang keras dan dahsyat,

Isi Berita:
1. Cuplikan dari Buku “Huru-Hara Akhir Zaman”,
1) Dari buku “Huru-Hara Akhir Zaman” karangan Amin Muhammad Jamaluddin (dosen Pascasarjana Fakultas Dakwah dan Tsaqafah Islamiyah, Universitas Al Azhar, Kairo)(Penerbit Aqwam, Juli 2003):
Halaman 97:
Keanehan-keanehan yang terjadi pada Ramadhan dan petaka-petaka dahsyat pada bulan Syawwal, Dzulqaidah dan Dzulhijjah. Al-Mahdi akan muncul di bulan Muharram. Pada Ramadhan sebelum kemunculannya, terlihat beberapa tanda-tanda nyata dan peristiwa- peristiwa yang aneh di langit. Mula-mula terjadi guncangan, kemudian muncul gelegar suara yang keras dan dahsyat, setiap orang bisa mendengarnya, kemudian muncul bintang berekor yang menerangi langit, kemudian matahari dan bulan mengalami gerhana.
Jika peristiwa-peristiwa diatas telah terjadi pada bulan Ramadhan, maka pada bulan Syawal akan terjadi huru-hara (ma’ma’ah). Kemudian pada bulan Dzulqaidah akan terjadi konflik antar suku dan perselisihan antar negeri Islam. Kemudian pada bulan Dzulhijjah, pada musim haji, akan terjadi perompakan terhadap para jama’ah haji dan peperangan antar suku dan bangsa Islam, sehingga darah mengalir di Jumrah ‘Aqabah pada hari-hari Idul Adha di Mina.
Jika peristiwa di atas telah terjadi, maka Al-Mahdi muncul dan dibaiat pada hari Asyura bulan Muharram.Saya akan menyebutkan beberapa hadits mengenai hal ini yang sebenarnya cukup banyak:
Nu’aim bin Hammad meriwayatkan dengan sanadnya bahwa:

Rasulullah saw. bersabda: “Pada bulan Ramadhan terlihat tanda-tanda di langit, seperti tiang yang bersinar, pada bulan Syawwal terjadi malapetaka, pada bulan Dzulqa’idah terjadi kemusnahan, pada bulan Dzulhijjah para jamaah haji dirompak, dan pada Muharram, tahukah apakah Muharram itu?”

Rasulullah saw. juga bersabda:
“Akan ada suara dahsyat di bulan Ramadhan, huru-hara di bulan Syawwal, konflik antar suku pada bulan Dzulqa’idah, dan pada tahun itu para jamaah haji dirampok dan terjadi pembantaian besar di Mina dimana banyak orang terbunuh dan darah mengalir disana, sedangkan pada saat itu mereka berada di Jumrah Aqabah”.

Beliau saw. juga bersabda:
“Bila telah muncul suara di bulan Ramadhan, maka akan terjadi huru-hara di bulan Syawwal…”. Kami bertanya: “Suara apakah, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Suara keras di pertengahan bulan Ramadhan, pada malam Jum’at, akan muncul suara keras yang membangunkan orang tidur, menjadikan orang yang berdiri jatuh terduduk, para gadis keluar dari pingitannya, pada malam Jum’at di tahun terjadinya banyak gempa. Jika kalian telah melaksanakan shalat Subuh pada hari Jum’at, masuklah kalian ke dalam rumah kalian, tutuplah pintu-pintunya, sumbatlah lubang-lubangnya, dan selimutilah diri kalian, sumbatlah telinga kalian. Jika kalian merasakan adanya suara menggelegar, maka bersujudlah kalian kepada Allah dan ucapkanlah: “Mahasuci Al-Quddus, Mahasuci Al-Quddus, Rabb kami Al-Quddus!”, karena barangsiapa melakukan hal itu akan selamat, tetapi barangsiapa yang tidak melakukan hal itu akan binasa”.

Muhammad bin Ali berkata:
“Sesungguhnya, Al-Mahdi yang kita nantikan itu memiliki dua mukjizat yang belum pernah terjadi semenjak Allah menciptakan langit dan bumi, bulan mengalami gerhana pada malam pertama bulan Ramadhan, sedangkan matahari mengalami gerhana pada pertengahan bulan itu, dan kedua hal itu belum pernah terjadi sejak Allah menciptakan langit dan bumi”. (diriwayatkan Daruquthni dalam sunan-nya).
ALLAH lebih mengetahui, Wasallam.amin.



Rabi’ah al-Adawiyah


    Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah tergolong wanita sufi yang terkenal dalam sejarah Islam. Dia dilahirkan sekitar awal kurun kedua Hijrah berhampiran kota Basrah di Iraq. Dia lahir dalam sebuah keluarga yang miskin dari segi kebendaan namun kaya dengan peribadatan kepada Allah. Ayahnya pula hanya bekerja mengangkut penumpang menyeberangi Sungai Dijlah dengan menggunakan sampan.
    Pada akhir kurun pertama Hijrah, keadaan hidup masyarakat Islam dalam pemerintahan Bani Umaiyah yang sebelumnya terkenal dengan ketaqwaan telah mulai berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramai berlumba-lumba mencari kekayaan. Justeru itu kejahatan dan maksiat tersebar luas. Pekerjaan menyanyi, menari dan berhibur semakin diagung-agungkan. Maka ketajaman iman mulai tumpul dan zaman hidup wara’ serta zuhud hampir lenyap sama sekali.
    Namun begitu, Allah telah memelihara sebilangan kaum Muslimin agar tidak terjerumus ke dalam fitnah tersebut. Pada masa itulah muncul satu gerakan baru yang dinamakan Tasawuf Islami yang dipimpin oleh Hasan al-Bashri. Pengikutnya terdiri daripada lelaki dan wanita. Mereka menghabiskan masa dan tenaga untuk mendidik jiwa dan rohani mengatasi segala tuntutan hawa nafu demi mendekatkan diri kepada Allah sebagai hamba yang benar-benar taat.
    Bapa Rabi’ah merupakan hamba yang sangat bertaqwa, tersingkir daripada kemewahan dunia dan tidak pernah letih bersyukur kepada Allah. Dia mendidik anak perempuannya menjadi muslimah yang berjiwa bersih. Pendidikan yang diberikannya bersumberkan al-Quran semata-mata. Natijahnya Rabi’ah sendiri begitu gemar membaca dan menghayati isi al-Quran sehigga berjaya menghafal kandungan al-Quran. Sejak kecil lagi Rabi’ah sememangnya berjiwa halus, mempunyai keyakinan yang tinggi serta keimanan yang mendalam.
    Menjelang kedewasaannya, kehidupannya menjadi serba sempit. Keadaan itu semakin buruk setelah beliau ditinggalkan ayah dan ibunya. Rabi’ah juga tidak terkecuali daripada ujian yang bertujuan membuktikan keteguhan iman. Ada riwayat yang mengatakan beliau telah terjebak dalam kancah maksiat. Namun dengan limpah hidayah Allah, dengan asas keimanan yang belum padam di hatinya, dia dipermudahkan oleh Allah untuk kembali bertaubat. Babak-babak taubat inilah yang mungkin dapat menyedar serta mendorong hati kita merasai cara yang sepatutnya seorang hamba brgantung harap kepada belas ihsan Tuhannya.
    Marilah kita teliti ucapan Rabi’ah sewaktu kesunyian di ketenangan malam ketika bermunajat kepada Allah:
    “Ya Allah, ya Tuhanku. Aku berlindung diri kepada Engkau daripada segala yang ada yang boleh memesongkan diri daripada-Mu, daripada segala pendinding yang boleh mendinding antara aku dengan Engkau!
    “Tuhanku! bintang-bintang telah menjelma indah, mata telah tidur nyenyak, semua pemilik telah menutup pintunya dan inilah dudukku di hadapan-Mu.
    “Tuhanku! Tiada kudengar suara binatang yang mengaum, tiada desiran pohon yang bergeser, tiada desiran air yang mengalir, tiada siulan burung yang menyanyi, tiada nikmatnya teduhan yang melindungi, tiada tiupan angin yang nyaman, tiada dentuman guruh yang menakutkan melainkan aku dapati semua itu menjadi bukti keEsaan-Mu dan menunjukkan tiada sesuatu yang menyamai-Mu.
    “Sekelian manusia telah tidur dan semua orang telah lalai dengan asyik maksyuknya. Yang tinggal hanya Rabi’ah yang banyak kesalahan di hadapan-Mu. Maka moga-moga Engkau berikan suatu pandangan kepadanya yang akan menahannya daripada tidur supaya dia dapat berkhidmat kepada-Mu.”
    Rabi’ah juga pernah meraung memohon belas ihsan Allah SWT:
    “Tuhanku! Engkau akan mendekatkan orang yang dekat di dalam kesunyian kepada keagungan-Mu. Semua ikan di laut bertasbih di dalam lautan yang mendalam dan kerana kebesaran kesucian-Mu, ombak di laut bertepukan. Engkaulah Tuhan yang sujud kepada-Nya malam yang gelap, siang yang terang, falak yang bulat, bulan yang menerangi, bintang yang berkerdipan dan setiap sesuatu di sisi-Mu dengan takdir sebab Engkaulah Tuhan Yang Maha Tinggi lagi Maha Perkasa.”
    Setiap malam begitulah keadaan Rabi’ah. Apabila fajar menyinsing, Rabi’ah terus juga bermunajat dengan ungkapan seperti:
    “Wahai Tuhanku! Malam yang akan pergi dan siang pula akan mengganti. Wahai malangnya diri! Apakah Engkau akan menerima malamku ini supaya aku berasa bahagia ataupun Engkau akan menolaknya maka aku diberikan takziah? Demi kemuliaan-Mu, jadikanlah caraku ini kekal selama Engkau menghidupkan aku dan bantulah aku di atasnya. Demi kemuliaan-Mu, jika Engkau menghalauku daripada pintu-Mu itu, nescaya aku akan tetap tidak bergerak juga dari situ disebabkan hatiku sangat cinta kepada-Mu.”
    Seperkara menarik tentang diri Rabi’ah ialah dia menolak lamaran untuk berkahwin dengan alasan:
    “Perkahwinan itu memang perlu bagi sesiapa yang mempunyai pilihan. Adapun aku tiada mempunyai pilihan untuk diriku. Aku adalah milik Tuhanku dan di bawah perintah-Nya. Aku tidak mempunyai apa-apa pun.”
    Rabi’ah seolah-olah tidak mengenali yang lain daripada Allah. Oleh itu dia terus-menerus mencintai Allah semata-mata. Dia tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk mencapai keredaan Allah. Rabi’ah telah mempertalikan akalnya, pemikirannya dan perasaannya hanya kepada akhirat semata-mata. Dia sentiasa meletakkan kain kapannya di hadapannya dan sentiasa membelek-beleknya setiap hari.
    Selama 30 tahun dia terus-menerus mengulangi kata-kata ini dalam sembahyangnya:
    “Ya Tuhanku! Tenggelamkanlah aku di dalam kecintaan-Mu supaya tiada suatupun yang dapat memalingkan aku daripada-Mu.”
    Antara syairnya yang masyhur berbunyi:
    “Kekasihku tiada menyamai kekasih lain biar bagaimanapun,
    Tiada selain Dia di dalam hatiku mempunyai tempat manapun,
    Kekasihku ghaib daripada penglihatanku dan peribadiku sekalipun,
    Akan tetapi Dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedetik pun.”
    Rabi’ah telah membentuk satu cara yang luar biasa di dalam mencintai Allah. Dia menjadikan kecintaan pada Ilahi itu sebagai satu cara untuk membersihkan hati dan jiwa. Dia memulakan fahaman sufinya dengan menanamkan rasa takut kepada kemurkaan Allah seperti yang pernah diluahkannya:
    “Wahai Tuhanku! Apakah Engkau akan membakar dengan api hati yang mencintai-Mu dan lisan yang menyebut-Mu dan hamba yang takut kepada-Mu?”
    Kecintaan Rabi’ah kepada Allah berjaya melewati pengharapan untuk beroleh syurga Allah semata-mata.
    “Jika aku menyembah-Mu kerana takut daripada api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu kerana tamak kepada syurga-Mu maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu kerana kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.”
    Begitulah keadaan kehidupan Rabi’ah yang ditakdirkan Allah untuk diuji dengan keimanan serta kecintaan kepada-Nya. Rabi’ah meninggal dunia pada 135 Hijrah iaitu ketika usianya menjangkau 80 tahun. Moga-moga Allah meredainya, amin!
    Sekarang mari kita tinjau diri sendiri pula. Adakah kita menyedari satu hakikat yang disebut oleh Allah di dalam Surah Ali Imran, ayat 142 yang bermaksud:
    “Apakah kamu mengira bahawa kamu akan masuk syurga padahal belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang yang sabar.”
    Bagaimana perasaan kita apabila insan yang kita kasihi menyinggung perasaan kita? Adakah kita terus berkecil hati dan meletakkan kesalahan kepada insan berkenaan? Tidak terlintaskah untuk merasakan di dalam hati seumpama ini:
    “Ya Allah! Ampunilah aku. Sesungguhnya hanya Engkau yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hanya kasih-Mu yang abadi dan hanya hidup di sisi-Mu sahaja yang berkekalan. Selamatkanlah aku daripada tipu daya yang mengasyikkan.”
    Sesungguhnya apa juga lintasan hati dan luahan rasa yang tercetus daripada kita bergantung kepada cara hati kita berhubung dengan Allah. Semakin kita kenali keluhuran cinta kepada Allah, maka bertambah erat pergantungan hati kita kepada Allah serta melahirkan keyakinan cinta dan kasih yang sentiasa subur.
    Lanjutan itu jiwa kita tidak mudah berasa kecewa dengan gelagat sesama insan yang pelbagai ragam. Keadaan begini sebenarnya terlebih dahulu perlu dipupuk dengan melihat serta merenungi alam yang terbentang luas ini sebagai anugerah besar daripada Allah untuk maslahat kehidupan manusia. Kemudian cubalah hitung betapa banyaknya nikmat Allah kepada kita.
    Dengan itu kita akan sedar bahawa kita sebenarnya hanya bergantung kepada Allah. Bermula dari sini kita akan mampu membina perasaan cinta terhadap Allah yang kemudian mesti diperkukuhkan dengan mencintai titah perintah Allah. Mudah-mudahan nanti kita juga akan menjadi perindu cinta Allah yang kekal abadi.

Monday, October 24, 2011

Tokoh-tokoh sufi


Tokoh-Tokoh Tarekat Sufiah

Perkembangan Sufi Islam, bermula dari abad pertama dan kedua Hijriyah. Pada zaman ini, dikalangan kaumMuslimin ramai terdapat individu-individu yang cenderung kepada menumpukan dirinya pada ibadah, tidak mementingkan makanan, pakaian maupun tempat tinggal hanya keperluan sahaja. Mereka lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan dan tingkah laku yang Qana'ah dan Zuhud. Diantara tokoh-tokoh sufi pada zaman ini adalah Hasan al-Bashri (meninggal pada 110 H) ,  Rabi’ah al-Adawiyah  (meninggal pada 185 H). Sufyan -al-Tsauri ..
Sejak abad ketiga Hijriyah para tokoh sufi mulai menaruh perhatian pada hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, ditandai dengan moral yang karakteristik, sehingga tasawuf berkembang menjadi ilmu moral keagamaan.
Mulailah dibahas hubungan Dzat Ilahi dengan manusia, kemudian disusul perbincangan tentang fana’ , khususnya oleh Abu Yazid Al Bustami.  Dari sinilah tumbuh pengetahuan tentang sufi.
Pada abad ketiga dan keempat Hijriyah, ada beberapa tokoh sufi yang terkenal  seperti al-Junaid, al-Sirri al-Saqothi (meninggal 253 H),  al-Kharraz, yang memiliki banyak murid. inilah yang menjadi cikal bakal tariqat-tariqat sufi dalam Islam. Sedangkan tokoh sufi lainnya adalah Dzun Nun al-Mishri (meninggal 245 H), al-Thusi karya Luma’, al-Sya’rani kitabnya al-Thabaqat a-Kubra. al-Junaid ( meninggal 298),  Abu Hamzah al-Baghdadi (meninggal 298 H), Abu al-Husain al-Nuri (meninggal 295 H).
Abad ketiga Hijriyah, juga muncul jenis tasawuf lain yang diwakili al-Hallaj, yang kemudian dihukum mati, karena menyatakan pendapatnya tentang hulul (309 H). Tokoh sufi yang lain diantaranya Abu Hasan al-Asy’ari (meninggal tahun 324 H) , Abu bakr Muhammad ibn Abu Bakr al-Thusi (meninggal 405 H), Abu ishha al-Isfarayini meninggal  418 H, .al-Harawi, Al-Qusyairi ( meninggal 465 H)
Lalu pada abad kelima Hijriyah muncullah Imam al-Ghazali,  yang sepenuhnya menerima tasawuf berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan tujuan asketisme, hidup sederhana, pelurusan jiwa,  dan pembinaan moral. Imam al-Ghazali berhasil memancangkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, seiring dengan aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan bertentangan dengan jenis tasawuf  al-Hallaj dan Abu Yazid al-Bustami mengenai soal karakter manusia. Pada abad keenam Hijriyah, Karena pengaruh kepribadian al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf sunni semakin meluas dalam dunia Islam. yang memunculkan para tokoh sufi yang mengembangkan tariqat-tariqat dalam mendidik murid mereka, tokoh sufi tersebut misalnya Sayyid Ahmad al-Rifa’i (meninggal pada 570 H) dan Sayyid ‘Abd al-Qadir al-Jailani (meninggal pada 651 H). al-Lakhmi (meninggal 650 H)
Selain itu Pada abad keenam Hijriyah pulalah munculnya beberapa tokoh sufi yang memadukan antara tasawuf dan Filsafat. Tokoh-tokoh sufi tersebut adalah al-Syuhrawardi al-Maqtul (meninggal pada549 H),  Syeikh Akbar Muhyiddin ibnu ‘Arabi (meninggal 638 H), Umar ibn al-Faridh (meninggal 669 H),   ‘Umar al-Faridh (meninggal 632 H), ‘ Abd al-Haqq ibn Sab’in al-Mursi (meninggal 669).
Pada abad ketuju Hijriyah muncul sufi islam yang lain dengan menempuh jalan yang sama, yang terkenal diantaranya, Abu al-Syadzilli (meninggal 656 H),  Abu al-Abbas al-Mursi (meninggal pada 686 H), Ibn ‘Atha’illah al-Syakandari (meninggal 709 H). mereka para tokoh sufi aliran Syadziliyyah sebagai kesinambungan jenis tasawuf Sunni al-Ghazali. Ibn Taimiyah (meninggal 728 H). Ibn Qayyim (meninggal 751 H), al-Farkawi ( meninggal 795 H)
Pada masa setelah Abad ke tujuh berkembanglah berbagai Tariqat dengan  sangat pesat dalam berbagai aliran.

Tarekat Sufiah

APAKAH HUKUM BERTARIKAT KE-ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA
BERSERTA DENGAN DALIL-DALIL DAN NAS-NAS SOHIH

BISMILLAAHIR ROHMAANIR ROHIM

Duhai Sahabat,

Telah sampai kepemerhatian kami persoalan-persoalan berkisar dan berhubung-kait dengan Tarikat-Sufiah dari berbagai-bagai pihak dan kelompok, dari dalam mahu pun dari luar Negara. Permasalahan diajukan berkisar pada hukum-hakam, asal-usul Tarikat-Sufiah, Silsilah, bentuk amalannya, kifiat zikir, upacara ritualnya, kesohihan amalannya, siapa perintis/Shaikh dan
pengamalnya, bila tersebar dan berkembangnya, pengaruhnya, apakah amalan ini dari Sunnah,
apakah ia masih relevan, apakah bahaya beramal dengannya atau tidak beramal dengannya dan sebagainya.
Terlebih penting, apakah amalan ini Islamik?

Soalan, soalan, soalan, yang menuntut jawaban!

1] ILMU FARDHU 'AIN WAJIB DITUNTUT

Jumhurul Ulama sepakat menetapkan bahawa seluruh umat Islam [mukallaf] yang akil baligh dan berakal adalah wajib menuntut 3 jenis ilmu semasa hayatnya, yaitu:

1] ILMU USULUDDIN/TAWHID
2] ILMU FIQH/FEKAH/SYARIAT
3] ILMU TASAWWUF

Dalam praktiknya, kesempurnaan Islam dalam diri seseorang adalah apabila ia merangkumkan
ketiga-tiga Ilmu seperti diatas, misalnya, dalam ilmu Tawhid ia mengetahui dan berpegang teguh
kepada I’tikad/Aqidah yang Hak/benar terhadap Allah dan Rasul; andainya tidak maka ia akan jatuh Syirik.

Dalam ilmu Fiqh/Fekah/Syariat pula, ia akan mengetahui segala Hukum-hakam , peraturan,
kaedah, syarat dan rukun setiap ibadah; andainya tidak maka, terbatallah ibadah tersebut.

Dan dalam Ilmu Tasawwuf pula, ia akan mempelajari ilmu tatacara pembersihan hati dari
penyakit-penyakit Mazmumah/Rohani/batin [misalnya riak], kerana penyakit batin yang
bersarang didalam hati sanubari seseorang itulah yang menyebabkan tidak diterima Allah
akan amal-amal ibadahnya lantaran amal tersebut bercampur baur dengan riak, megah,
takabbur, angkuh, hasad dan sebagainya, walau ia seorang ‘Abid atau tokoh Ilmuan
sekali pun.

Justeru, mana mungkin ketiga-tiga Ilmu tersebut, yang saling lengkap-melengkapi, dipisah-pisahkan menurut selera dan nafsu kita masing-masing!

Majoriti umat Islam hanya cenderong untuk belajar Ilmu Fiqh dan Tawhid sahaja kerana mudah
untuk dipelajari sendirian melalui buku/kitab dalam jurusan tersebut. Kerana telah terbiasa dengan amalan-amalan mudah dalam kedua bidang tersebut, masyarakat Melayu terus membudayakan pembelajaran ilmu-ilmu tersebut turun temurun, dari satu generasi ke satu generasi. Ditambah
pula oleh momokan ‘tokoh-tokoh Ilmuan Agama’ yang melarang masyarakat mendekati Ilmu
Tarikat/Tasawwuf dengan alasan-alasan yang tidak berasas!

Paling bahaya, mereka terus menyangka, menerima dan menetapkan bahawa hanya kedua-dua
Ilmu itu sahaja yang wajib dipelajari/dituntut dan mereka telah pun layak bergelar orang Islam sejati.

Sebenarnya, pendirian ini telah tersasar amat jauh sekali!

Kerana, hanya segelintir, umat Islam yang cenderong mempelajari dan beramal dengan Ilmu
Tasawwuf, walau pun Ilmu Tasawwuf ini adalah termasuk dalam kategori Ilmu Fardhu 'Ain
dalam Agama Islam.

Apakah sebabnya majoriti umat Islam sering merasa gusar, memandang sinis, membenci,
sekali-gus menjauhi Ilmu Tasawwuf?

2] DEFINISI ILMU TASAWWUF

Ilmu Tasawwuf mencakupi suatu bidang Ilmu yang amat luas berhubung dengan tatacara
mengendali diri manusia melalui penyucian diri dan penjernihan amalan-amalan serta ibadah,
sehingga menghasilkan keluhuran budi-pekerti dan akhlak terpuji dalam diri manusia, dan
mencapai kesucian hidup dalam konteks hubungan dengan manusia dan, paling utama ialah
interaksinya dan transaksinya dengan Penciptanya, yakni, ALLAH S.W.T.

Pada hakikatnya, Ilmu Tasawwuf itu amat mendokong dan menyempurnakan pengamalan
kedua-dua Ilmu Fiqh dan juga Ilmu Tawhid tersebut.

Barangkali khalayak juga kurang faham, kurang mengerti atau tidak mengetahui bahawa
Ilmu Tasawwuf adalah juga sinonim dengan apa yang dipanggil, Ilmu Tarikat-Sufiah,
Ilmu Hakikat, Ilmu Makrifat, Ilmu KeTuhanan dan sebagainya.

Sememang dizaman Rasulullah nama Tasawwuf belum pernah wujud, namun intipati ilmu
Tasawwuf telah pun diajar Rasulullah, bersumberkan al-Quran dan di amalkan oleh para
sahabat dan para SalafusSoleh, zaman berzaman sehingga kehari ini.

3] PERKATAAN TARIKAT DISEBUT DALAM AL- QURAN

Walau pun perkataan Tasawwuf belum wujud diawal penyebaran Agama Islam, namun
perkataanTARIKAT/TORIK ada disebut didalam al-Quran sebanyak 9 kali didalam
5 buah Surah, seperti berikut:

1] Surah an-Nisa – sebanyak 2 kali,
2] Surah Thoha – 3 kali,
3] Surah al-Qaf – 1 kali,
4] Surah al-Mukminun – 1 kali, dan
5] Surah al-Jinn – 2 kali.


4] DALIL-DALIL DAN NAS-NAS SOHIH ILMU TARIKAT-SUFIAH

Firman Allah, Quran Surah al-Jinn, ayat 16, bermaksud:

‘ Dan bahawasanya jika mereka tetap/teguh berjalan lurus diatas TARIKAT itu,
benar-benar kami akan limpahkan kepada mereka air Rahmat yang
melimpah-ruah [rezeki yang banyak]’

Rasulullah pula bersabda, bermaksud:

‘ Syariat itu adalah kata-kata ku, Tarikat itu adalah kelakuan ku, Hakikat itu adalah
ehwal ku, dan Makrifat itu adalah kepala harta ku.’

Penjelasan kata-kata seperti Syariat, Tarikat, Hakikat dan Makrifat itu adalah berkait
antara satu dengan yang lain, beza pada lafaznya tetapi yang satu menyempurnakan
yang lain.
Misalnya, Syariat itu pohonnya dan Hakikat itu adalah buahnya. Pohon dengan buah
tidak dibezakan kerana tidak ada orang bercucuk tanam untuk mendapatkan pohonnya
sahaja melainkan menuju buahnya. Dan buahnya itu [Tasawwuf] tidak akan keluar
sebelum adanya Syariat.

Berkata Imam Ahmad Hambal:

‘ Barangsiapa yang mempelajari Syariat Islam tanpa melakukan Tasawwuf,
maka ia menjadi Fasiq, dan barangsiapa yang melakukan Tasawwuf sebelum
ia mengerti Syariat Islam dengan benar, maka ia menjadi zindik. Barangsiapa
yang menyatukan kedua-duanya, itulah Islam sebenarnya.’

Pada hakikatnya, seorang Sufi sebelum ia menjadi Sufi, ia telah menjadi Faqih
terlebih dahulu, bahkan telah menjadi Imam dalam pelbagai Ilmu Fiqh dan Ilmu
Kalam. Akan tetapi Ilmu Tasawwuflah yang telah membuahkan pengetahuan
yang lebih halus dan jernih, dan Zauq yang mendalam kedalam jiwa mereka.
Lebih dari itu, deria perasaan mereka menjadi lebih sempurna dan oleh itu
dapat memantapkan seluruh amalan dan ibadah mereka dengan ikhlas
lagi khusyuk.

Apabila seorang Faqih itu tidak mempunyai Ilmu mengenai hal ehwal kaum Sufi
dan istilah-istilah mereka, maka ia adalah seorang Faqih yang kering.
Seorang Faqih apabila Ilmunya tidak digilap dengan Ilmu Tasawwuf yang benar,
maka Imannya tidak dimantapkan dengan Taqwa yang sungguh-sungguh;
kemudian dilatih dan dihalusi oleh sifat-sifat Wara’, maka ia lebih mudah
diperkotak-katikkan oleh hawa nafsunya sendiri.

Maka, adakah menghairankan jika terdapat dalam masyarakat Melayu,
tokoh Agama atau orang dewasa bergelar Datuk, datuk atau Pak Haji
terbabit dan disabitkan dengan jenayah maksiat?!

Berkata Ibni Khaldun:

‘ Asal utama dari ajaran Tarikat/Tasawwuf itu adalah tekun beribadah dan
berhubung langsung kepada Allah ; menjauhkan diri dari kemewahan duniawi;
tidak suka kepada apa yang diburu oleh ramai manusia seperti cenderong/asyik
kepada kesukaan harta-benda dan kemegahan; malah lebih senang bersunyi-sunyi
diri dalam melaksanakan ibadah kepada Allah.’

Penjelasan ini mencerminkan kesempurnaan dalam tatacara/kaedah perjalanan
serta amalan Ahli-ahli TarikatSufiah yang Hak. Tegasnya, Kaum Sufi ini hanyalah
mencontohi perjalanan Rasulullah serta para-para Sahabatnya; mereka bertaqwa,
beribadah dan berdoa semata-mata kerana Allah dan tidak sekali-kali meminta
sebarang ganjaran dan pembalasan.

Maka adalah suatu perkara yang amat menghairankan/aneh apabila Ahli-ahli
TarikatSufiah [SUFI] yang begitu patuh kepada Syariat dan Sunnah Rasulullah,
dan tidak pernah engkar mahu pun melanggar Hukum-hukum Syariat Allah,
telah dikecam hebat dan dituduh oleh Pihak Berwajib dan khalayak, sebagai
tidak berpegang kepada Syariat Islam.

5] IMAM-IMAM MAZHAB YANG EMPAT

FaktaSejarah menunjukkan bahawa keempat –empat Imam Mazhab Fiqh ada
belajar dan mengamalkan Ilmu TarikatTasawwuf dari tokoh-tokoh Sufi yang
tersohor dizaman itu, seperti berikut:

1] Imam Syafie’ dan Imam Ahmad Hambal berguru kepada Syaikh Maaruf Kharkhi;
2] Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berguru kepada Imam Jaafar Siddiq.

Maka kita dapat merumuskan bahawa Ilmu Fiqh/Syariat dengan Ilmu TarikatTasawwuf
amat berkait rapat, bak isi dengan kuku, bak aur dengan tebing dan saling memerlukan
dan melengkapkan.

Jika tokoh besar seperti Imam-imam Mazhab Fiqh yang empat, menjadi rujukan,
ikon/ikutan billion Umat Islam dahulu dan sekarang, dan tokoh Hujjatul Islam, Imam
Al-Ghazali, pun belajar dan mengamalkan Ilmu TarikatTasawwuf, kami tidak
nampak dimana logiknya Umat Islam sekarang menjauhi Ilmu tersebut,
seperti menjauhi wabak penyakit kusta, atau selsema babi!


6] TOKOH HUJJATUL ISLAM – IMAM AL-GHAZALI

Didalam kitab Bidayat al-Hidayah, Imam al-Ghazali berkata;

‘ Sepatutnya orang yang mengajar ilmu itu menegah murid-muridnya daripada
dilalaikan oleh pelajaran ilmu Fardhu Kifayah, sebelum mereka selesai mempelajari
Ilmu-ilmu Fardhu ‘Ain yang tiga perkara; yakni, Ilmu Tawhid [Usuluddin], Ilmu Syariat
[Fiqh], dan Ilmu Tasawwuf [Tarikat].’

Tegasnya lagi:

‘ Bahawa kaum Sufi itulah [Ahli Tasawwuf] yang benar-benar telah menempuh jalan
yang telah dirintis oleh Nabi Besar Muhammad S.A.W. dan yang dikehendaki oleh
Allah S.W.T.’

Didalam kitab Ihya ‘ulum al-din, beliau menegaskan lagi:

‘ Barangsiapa yang tiada baginya bahagian untuk mengetahui Ilmu TarikatTasawwuf,
dikhawatiri ia akan menemui seburuk-buruk kematian, dan sekurang-kurang bahagian daripadanya ialah mengakui [membenarkan] dan bersangka baik dengan Ahli-ahlinya.’

Kenyataannya adalah, Ilmu TarikatTasawwuf itu dapat menghidupkan hati yang mati
dan mematikan Nafsu syahwat yang rendah [haiwaniah dan dikutuk Allah] dalam diri seseorang;
dapat memperlihatkan aib diri sendiri yang sering menghijab dan mendindingi seseorang dari
Allah, dan akan terus jauh dariNya. Ilmu, selain TarikatTasawwuf, sering mengakibatkan hati
menjadi keras dan sering pula menghiasi aib seseorang [sehingga dirasakan sebagai
kelebihan pula], dan menjadikan pengamalnya bersifat megah, sombong, bongkak dan
angkuh, yakni, ciri-ciri sifat Mazmumah yang amat disukai nafsu tetapi amat dibenci oleh Allah!

Didalam kitabnya berjodol ‘Al-Munqiz minad dholal’ [Pembebasan dari Kesesatan], Imam
Al-Ghazali membuat penjelasan panjang-lebar dan pengakuan seperti berikut:

‘ Aku amat tertarik kepada kehidupanTarikatSufiah [kesufian] atau jalan
Kerohanian/kebatinan. Nyata sekali jalan ini tidak dapat ditempuh, kecuali dengan ilmu
dan amal kedua-duanya. Menempuh Tarikat/Jalan ini bererti menghadapi pelbagai
tanjakan-tanjakan batin, dan menunjukkan amal itu lebih banyak kepada pembersihan diri.
Hal ini perlu untuk mengosongkan batin manusia, dan kemudian mengisinya dengan
ZIKIR kepada Allah Ta’ala. Bagiku, ilmu itu lebih mudah dari amal, maka, segeralah
aku mulai mempelajari ilmu Sufi serta membaca kitab-kitabnya, antara lain adalah
karya-karya Abu Thalib al-Makki, al-Haris al-Muhasibi, Al-Junaid, al-Syibli, dan Abu
Yazid al-Busthami. Dengan demikian, dapatlah aku memahami tujuan mereka.
Maka aku ketahuilah, yang lebih dalam lagi hanya dapat dicapai dengan deria
Perasaan, Zauq, pengalaman dan perkembangan kerohanian/kebatinan.
Amatlah jauh perbezaan antara mengetahui erti sihat atau kenyang dengan mengalami
Sendiri rasa sihat dan kenyang itu. Mengalami keadaan mabuk lebih jelas daripada
hanya mendengar keterangan tentang ertinya. Walhal, yang mengalaminya mungkin
belum mendengar sesuatu keterangan tentang perkara tersebut. Doktor yang sedang
sakit amat arif tentang erti kesihatan. Tetapi ia sendiri sedang tidak sihat. Mengetahui
ertinya dan syarat-syaratnya Zuhud tentu tidak sama dengan memiliki sifat Zuhud.
Yang penting bagi mereka adalah pengalaman, bukan perkataan [actions and not
mere words]. Maka, apa yang dapat dicapai dengan ilmu telah ku capai. Selanjutnya
haruslah dengan Zauq dan menjalani kaedah Suluk/Khalwat. Aku yakin benar-benar,
kaum TarikatSufiah itulah yang betul-betul menempuh jalan yang dikehendaki
oleh Allah Ta’ala. Merekalah golongan yang paling utama cara-cara hidupnya;
paling tepat tindak-lakunya dan paling tinggi budi pekertinya.
Bahkan, andaikata semua para ‘uqala, Hukama, para ahli Hukum dan Ilmu;
para Ulama yang tahu rahsia Syara’; semua itu dihimpunkan untuk mencipta
cara yang lebih utama daripada cara Sufi itu, tiadalah akan memberi hasil;
sebab, segala gerak-gerik mereka [kaum Sufiah], baik zahir mahu pun batin,
adalah diterangi Sinar dari Cahaya Kenabian.
Didunia ini tidak ada cahaya yang lebih terang daripadanya.’

Tegasnya, Ilmu TarikatTasawwuf adalah pusaka keagamaan dalam Islam dan menjadi
sebahagian dari Syariat Islam yang terpenting dan WAJIB dianuti dan dihayati oleh umat
yang mengaku berAgama Islam dan berTuhankan Allah S.W.T!


7] APAKAH BAHAYANYA JIKA KITA TIDAK MENEMPUH/BERTARIKAT KE-ALLAH?


Terdapat terlalu banyak bahaya dan risiko bagi seseorang yang tidak/belum menjalani
Tarikat ke-Allah S.W.T. Antara faktor-faktor yang amat kritis/trajis dan terpenting adalah
seperti berikut:

I] Tidak dapat mengenal sebenar DIRInya.
Ii] Tidak dapat mengenal Tuhan sebenarnya.
Iii] Tidak dapat mencapai khusyuk didalam Solat, sebab tidak kenal yang menyembah,
masakan boleh kenal yang disembah.
Iv] Berpenyakit Rohani [jiwa]; merasa resah gelisah, tidak keruan/tenteram,mudah
cemas,jiwa kosong, hidup tak bahagia,tiada ketenangan,walau kedudukan tinggi dan
harta bertimbun.
V] Amalan dan hidup tak mendapat Barokah Allah [berkat].
Vi] Dikhawatiri mati dalam ‘SU’UL KHATIMAH.’
VII] Tidak menurut SUNNAH dan jejak langkah Rasulullah S.A.W.
VIII] Dan lain-lain.

8] PENDIRIAN ULAMA SUFI MUKTABAR

Perhatikan Firman Allah, Quran Surah al-Ahzab, ayat 72, bermaksud:

‘ Sesungguhnya Kami telah mengemukakan AMANAT kepada langit , bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul AMANAT itu, dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah AMANAT itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.’


Pada hakikatnya, AMANAT tersebut adalah RAHSIA besar yang dipertaruhkan oleh Allah
kedalam dada manusia, sehingga manusia yang berjaya memelihara, memahami dan
mencapai maksud sebenarnya, dinobatkan Allah kepersada Khalifah dan kewalian,
seperti Firman Allah Quran, Surah al-Baqarah, ayat 30, bermaksud:

‘ Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah dimuka bumi.’

Hanya melalui pemahaman dan pengamalan Ilmu TarikatSufiah sahaja, rahsia dari segala
rahsia dapat dirongkai/leraikan, melalui fasa-fasa Mujahadah sehingga kematlamat akhirnya,
seperti diisyaratkan oleh Firman-firmanNya, antaranya, bermaksud:

‘ Ingatlah, bagi Allah adalah Dzat Yang Maha Mengetahui semua makhluk dan semua urusan
[memerintah]. Maha Suci Allah Tuhan semesta alam.’ Al-A’raf:54.

Lagi Firman Allah, bermaksud:

‘ Wahai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhati
kan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok [akhirat] dan bertaqwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ Al- Hasyr:18.

Lagi Firman Allah, bermaksud:

‘ Wahai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah Wasilah/Tarikat/Jalan
yang mendekatkan diri kepadaNya, dan berjihadlah pada Jalan/TarikatNya, supaya kamu
mendapat keberuntungan.’ Al-Maidah:35.

Dan FirmanNya lagi Quran, Surah Al-Ankabut, ayat 69, bermaksud:

‘ Barangsiapa yang berjuang dipihak Kami, pasti akan Kami pimpin ia keJALAN Kami.’

Dan lagi FirmanNya, bermaksud:

‘ Dan berjihadlah kamu pada Jalan/Tarikat Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya.’

Dan lagi FirmanNya, bermaksud:

‘ Tunjukilah aku keJalan yang lurus/benar.’

Lagi Firman Allah, bermaksud:

‘ Disisi Allah adalah tangga-tangga kenaikan [mi’raj].’

Lagi Firman Allah, bermaksud:

‘ Mengangkat Allah Ta’ala akan orang-orang beriman dan yang diberi ilmu akan beberapa
pangkat yang tinggi.’

Lagi Firman Allah, bermaksud:

‘ Kedudukan mereka itu bertingkat-tingkat disisi Allah.’

Dan lagi Firman Allah, bermaksud:

‘ Maka apakah kamu mengira bahawa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara
main-main sahaja dan bahawa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami.’

Penegasan dari Dalil-dalil diatas menjadi Hujjah dan paksi, kenapa berTarikat ke-Allah adalah
WAJIB hukumnya, dari kacamata dan pendirian Ulama TarikatTasawwuf muktabar, dari dahulu
sehingga kini dan selamanya!

Jika diperhalusi, jelas amalan-amalan ilmu TarikatTasawwuf terdapat pada asal Syara’, baik
dari yang terpancar dari sumber al-Quran, al-Hadith, al-atsar atau al-Ijma’.
Ianya jelas akan membawa umat kesuatu tujuan pengamalan Syariat Islam yang sebenarnya,
sesuai dengan yang dikehendaki Allah dan RasulNya!

Dalam erti-kata lain, Tasawwuf itu sah berasal dari ajaran Islam dan tidak diragukan
kebenarannya, dan selayaknya digiat terus pengamalan dan perkembangannya!

9] SERUAN DAN PESANAN

Duhai Sahabat!

Ketahuilah bahawa tujuan/matlamat akhir menguasai Ilmu Tarikat/Tasawwuf itu adalah
untuk kembali kehadrat Allah, bertemu dengan Allah, hingga mendapat redho Allah!

Perhatikan Firman Allah, bermaksud:

‘ Barangsiapa buta didunia akan buta juga diakhirat, bahkan lebih sesat lagi.’

Dari itu bukalah mata, minda dan hati anda bagi menyahut cabaran amat getir ini,
sebelum anda dipanggil pulang untuk bertemu denganNya tanpa persediaan
secukupnya! Berdoalah! Berserahlah!

Carilah seorang tokoh yang ahli dalam bidang itu, walau beliau tak dikenali ramai, namun
mempunyai kepakaran dan Silsilah penerimaan Ilmu, terus keRasulullah.

Jangan merujuk/belajar dari tokoh-tokoh Ilmuan yang glamor kerana yang akan anda
perolehi diakhir nanti hanyalah glamor juga! Kecuali itu yang anda cari!

Rumah siap pahat berbunyi,
Kail sejengkal lautan ingin diuji,
Rosak jam jangan dihantar ke tukang besi,
Rosak labu kerana tikus mudah dipercayai!

SELAMAT MENCARI DAN MEMPEROLEHI!
INSYAALLAH DIPERKENAN ILAHI!